Sabtu, 23 November 2013

Karena Sepenggal Dialog Dalam Novel


“Aku harus menyibukkan diri. Membunuh dengan tega setiap kali kerinduan itu muncul. Ya Tuhan, berat sekali. Sungguh berat, karena itu berarti aku harus menikam hatiku setiap detik”


Mataku terpaku sesaat pada barisan dialog hati dari novel yang sedang kubaca itu. Kenikmatan nuansa senja sebagai pelipur lara dan sesak yang kerapkali kurasakan di dalam gerbong KRL, mendadak enyah sejenak. Padatnya kuli kantoran area urban yang berdesakan layaknya pepesan di dalam gerbong, semakin terasa menyesakkan. Aku terpaku sejenak. KRL sore ini sebenarnya tidak sesesak biasanya, terbukti aku saja masih bisa membaca novel sambil posisi berdiri. 
Membunuh dengan tega setiap kali kerinduan itu muncul. Kalimat penuh penegasan itu, pasti ditujukan untukku. Imbasnya, novel yang tadi kupegang, kupaksa dengan sadis masuk ke ranselku. Mataku mulai nanar. Tiba-tiba saja, langit senja yang terlihat dari bingkai jendela gerbong itu, seakan melukiskan senyumnya. Senyum yang dulu pernah kuimpikan untuk kumiliki. Senyum yang dulu kupikir hanya untukku.

Brrooommm.. Ah, desingan suara KRL akhirnya menyadarkanku. Aku harus menyibukkan diri. Kuambil tablet, kucek email masuk, dan kembali kutatapi deretan angka-angka yang tersaji dalam laporan berformat excel tersebut. Memastikan pekerjaan hari ini tuntas sudah.
Aku harus menyibukkan diri. Kupikir Tuhan telah menyediakan lahan kebaikan yang begitu luas, yang belum kita – atau bahkan orang lain- garap. Right, banyak remah-remah kebaikan yang tercecer. Kenapa tak repot saja aku memunguti itu.

Hufft.. berat memang. Rasa-rasanya aku perlu mengasah pedangku lebih tajam. Sangat tajam hingga tak lagi perih terasa saat kupakai untuk menikam hatiku. Menebas lukisan wajah manismu yang kerap kali berlalu lalang di benakku. Wajah yang kini telah menjadi penyejuk mata lelaki lain.

20 Juni 2013
-tadinya mau dikirim ke Project Senja, tapi.. Malah sibuk nulis rapor- 
Nb: late post