Minggu, 29 Juni 2014

Ramadhan 1435 H

sfx ~Kueeeee... putu mayang~

Lantang bocah penjaja putu mayang yang lewat di depan rumah telah mengisyaratkan bahwa... RAMADHAN HAS COME. Sembari menunggu ifthor yang akan tiba sekitar 3 jam lagi, saatnya menjenguk halaman maya ini setelah sebulan terabaikan. Well, tak terasa Ramadhan sudah kembali menyapa, keyakinanku setiap muslim yang masih memiliki iman pasti mengharapkan keberkahan dari Ramadhan. Buat aku sendiri, selain sebagai Syahru Shyam (berpuasa), Ramadhan juga merupakan Syahru Tarbiyah (pembinaan), Syahru Tarqiyah (peningkatan), dan Syahru Tazkiyatun Nafs (penyucian diri). Nikmat dan rezeki terbesar bahwa kita masih berjodoh dengan Ramadhan. 


Dua kali Ramadhan dalam dua tahun belakangan ini merupakan momen dimana aku berupaya untuk berkompromi dengan hati. Seperti tahun lalu, saat nuansa merah jambu yang mewarnai hati, yang sejatinya fitrah, beberapa kali membuat diri tak lagi nyaman. R
esah yang muncul karena dipermainkan oleh dilema antara asa menggenap dari Tuan Muda dan pinangan lelaki lain terobati oleh bulan suci ini. Lalu tahun ini, hmm, menjadikan Ramadhan sebagai momen memantaskan kembali diri dan membuka lembaran ilmu untuk mengisi penantian perhelatan akbar menuju sunnah Rasul -jika Allah berkenan. Tak hanya itu, di pelupuk Ramadhan ini kerinduan akan sosok sahabat-sahabat di episode lalu dan dengan rencana indah Allah, telah membawaku dan mereka pada suatu pertemuan yang haru biru.

Tahukah kau makna sahabat itu? Mereka yang padanya kau titipkan serpihan emosi dan segudang curahan hati. Mereka yang -terkadang- kau anggap lebih bermakna dibanding saudara sedarahmu. Mereka yang mengingatkanmu untuk berbuat benar, bukan membenarkan apa yang kau perbuat. Dan mereka yang selalu kau gantungkan doa Rabithah, agar kebaikanNya selalu menyertai mereka. Dalam episode lalu, tawa lepas dan deraian air mata menemani kisah kami. Oh, tak luput pula rasa sakit hati dan kecewa yang mungkin pernah muncul. Terbungkus rapi. Hingga di suatu episode, perpisahan itu tak kuasa kami cegah. Perpisahan yang memang harus terjadi karena kami harus meneruskan langkah atas apa yang menjadi impian dan target kami. Tapi, kemarin, sehari sebelum Ramadhan ini, Allah mempertemukan kami. Walau tak semua sahabat berkesempatan datang berkumpul, namun cerita bagaimana mereka dan yang lainnya dapat mengalir deras. Beberapa berceloteh tentang kabar gembira, dan beberapa yang lain bercerita atas kesulitan hidup yang mereka alami setelah perpisahan kami. Naudzubillah, bukan untuk bergunjing, bukan memperolok atau merendahkan. Di saat itulah pintu empati seorang sahabat diuji, ayat cintaNya menegur kami untuk saling tolong menolong dalam kebaikan. 


Senja, menjadi batas pertemuan hari itu. Tangan telah berjabat dan kecupan di pipi menjadi pertanda akhir kontak fisik kami. Lambaian tangan pun menjadi penutup saat sosok sahabat mulai menghilang dari pandangan. Tapi, meski lirih, akan ada doa yang terus terpanjatkan untuk mereka.