17 Oktober 2013, rentetan pesan senada menyeruak serentak melaui penjuru media messenger, Facebook, Twitter, BBM dan WhatsApp. Mengabarkan berita duka tentang salah seorang akhwat,kakak kelas kami di IPB, telah menjemput syahid -insya Allah- selepas proses melahirkan putra pertamanya. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Kak Ratna, sosok wanita yang aku sendiri hanya pernah sekali dua kali bertatap muka dengannya - saat tengah syuro internal dan tarbiyah internal kampus - menjemput ajal setelah melahirkan karena kasus pendarahan. Sosok yang banyak dibicarakan setelah kepergiannya karena kepribadiannya yang menyenangkan, ramah, cerdas, bersemangat, serta hal-hal baik lainnya. Entahlah, aku pun tidak begitu mengenalnya secara dekat. Yang aku ingat, pernikahannya setahun yang lalu dengan kak nazrul, seorang ikhwan yang kutahu memiliki kepribadian yang tegas dan tsaqofah keilmuan yang luas dan mendalam, menjadi pernikahan yang banyak mendapat perhatian. Bagaimana tidak, si akhwat merupakan mahasiswi berprestasi dengan reputasi yang cemerlang dan si ikhwan adalah laki-laki organisatoris yang memiliki kepiawaan pemimipin yang baik.
Akad nikah Kak Ratna dan Kak Nazrul |
Catatan-catatan itu diberi tag #LettersToKarel,
kisah bersambung yang dituliskan kak Nazrul untuk kelak dibaca sang buah hati.
Episode pertama catatan ini diawali dengan kalimat life is not always easy,
Baby. Bahwa semua yang kamu minta, tidak selalu akan terpenuhi. Bayi Karel,
sepertinya sudah disiapkan jauh sebelum ia terlahir, sejak ia masih di dalam
kandungan uminya. Kak Nazrul sempat mendokumentasikan beberapa susunan rencana2
Kak Ratna dalam menyambut kelahirannya. Diantaranya, kak Ratna memprioritaskan
ASI eksklusif selama dua tahun penuh, selain itu beliau pun juga mengopsikan
untuk resign dari pekerjaan selama 2-3 tahun untuk menjaga san buah hati.
Sepakat. Menurutnya usia bayi saat itu merupakan masa emas (golden age) bagi
tumbuh kembang bayi. Tapi apa daya, kesempatan ini belum menjadi miliknya.
Sepeninggal Kak Ratna, Kak Nazrul
lanjut bercerita bahwa bayi Karel termasuk bayi yang jarang menangis. Hanya
saat ia lapar dan buang air saja, tangisnya akan pecah. Sepertinya sang bayi
memahami kondisinya saat itu. Di kisah berikutnya, dijelaskan bagaimana
sulitnya kak Nazrul mendapatkan donor ASI untuk memenuhi kebutuhan utama
bayinya. Ternyata kak nazrul menjalankan betul wasiat sang istri untuk
memberikan ASI ekslusif kepada sang buah hati. Untungnya banyak rekan2 kak
Ratna sesama ummahat yang bersedia menjadi pendonor ASI. Bukan itu saja, ASI
yang sudah diperoleh pun harus diverifikasi dan dan diuji kecocokannya dengan
bayi Karel.
Bayi Karel
Sampai sini aku menghela nafas.
Mungkin karena merasa prihatin, atau mungkin khawatir hal yang sama akan
menimpa bayi aku kelak. Satu catatan penting yang aku tangkap dari surat-surat
kak Nazrul tersebut (sampai tulisan ini dibuat, baru dirilis 7 catatan), bahwa
hidup janganlah tergantung pada belas kasihan orang lain, mandiri di atas kaki
sendiri itu jauh lebih mulia, tak perlu melulu meratap dalam sedu sedan, karena
hidup bukanlah tentang bersama siapa kita menjalaninya tapi bagaimana kita
menjalaninya.
Nice, semoga Allah memberikan bayi
Karel pundak yang kuat untuk memikul segala beban hidup yang mungkin muncul
kelak. Have a nice sleep, Babe..