“Aku harus menyibukkan diri. Membunuh dengan tega setiap kali kerinduan
itu muncul. Ya Tuhan, berat sekali. Sungguh berat, karena itu berarti aku harus
menikam hatiku setiap detik”
Mataku
terpaku sesaat pada barisan dialog hati dari novel yang sedang kubaca itu.
Kenikmatan nuansa senja sebagai pelipur lara dan sesak yang kerapkali kurasakan
di dalam gerbong KRL, mendadak enyah sejenak. Padatnya kuli kantoran area urban
yang berdesakan layaknya pepesan di dalam gerbong, semakin terasa menyesakkan.
Aku terpaku sejenak. KRL sore ini sebenarnya tidak sesesak biasanya, terbukti
aku saja masih bisa membaca novel sambil posisi berdiri.
Membunuh
dengan tega setiap kali kerinduan itu muncul. Kalimat penuh penegasan itu,
pasti ditujukan untukku. Imbasnya, novel yang tadi kupegang, kupaksa dengan
sadis masuk ke ranselku. Mataku mulai nanar. Tiba-tiba saja, langit senja yang
terlihat dari bingkai jendela gerbong itu, seakan melukiskan senyumnya. Senyum
yang dulu pernah kuimpikan untuk kumiliki. Senyum yang dulu kupikir hanya
untukku.
Brrooommm..
Ah, desingan suara KRL akhirnya menyadarkanku. Aku harus menyibukkan diri.
Kuambil tablet, kucek email masuk, dan kembali kutatapi deretan angka-angka
yang tersaji dalam laporan berformat excel tersebut. Memastikan pekerjaan hari
ini tuntas sudah.
Aku harus
menyibukkan diri. Kupikir Tuhan telah menyediakan lahan kebaikan yang begitu
luas, yang belum kita – atau bahkan orang lain- garap. Right, banyak
remah-remah kebaikan yang tercecer. Kenapa tak repot saja aku memunguti itu.
Hufft..
berat memang. Rasa-rasanya aku perlu mengasah pedangku lebih tajam. Sangat
tajam hingga tak lagi perih terasa saat kupakai untuk menikam hatiku. Menebas
lukisan wajah manismu yang kerap kali berlalu lalang di benakku. Wajah yang
kini telah menjadi penyejuk mata lelaki lain.
20 Juni 2013
-tadinya mau
dikirim ke Project Senja, tapi.. Malah sibuk nulis rapor-
Nb: late
post