Time flies, but our
memories will last..
Sungguh, semua
kenangan yang kuingat itu adalah hal-hal yang indah, manis, menenangkan dan
menyenangkan. Tidak ada yang cacat dari semua kenangan itu. Lagipula gambaran
seorang nenek yang tua renta dan kurus kering tidaklah cocok buat nenekku yang
satu ini. Asal tau saja, kalo ditotal aku sebenarnya punya nenek 10 orang. 8
dari garis Ayah dan 2 dari garis Ibu. Tapi nenek yang hendak kuceritakan ini,
she is the greatest granny that I've ever had..
Mbah Putri, begitu
aku memanggilnya (sampai saat aku menulis ini, aku tersadar tidak mengetahui
nama sebenarnya. Lain waktu lah ku cek di kartu keluarga). Postur tubuhnya
tinggi besar, bahkan lebih tinggi dari ibuku. Rambut ikalnya yang panjang
mungkin akan terkembang jika beliau tidak mengepangnya menjadi satu ikatan.
Matanya, yang walaupun sayu, akan selalu memberikan perhatian penuh jika
berbicara dengannya. Fashion khasnya adalah dress selutut yang panjang
lengannya sesiku, dan kemudian dipadu padan dengan ikat pinggang (walaupun
belakangan beliau akhirnya lebih sering memakai gamis dan menggunakan kerudung
yang diikat ke belakang kepala).
Mbah putri aslinya
dari wangon (atau purwokerto? Lupa aku), tapi sejak aku mengenalnya aku hanya
tahu domisili beliau di Jogja (dan mungkin juga sudah menjadi data domisili
KTPnya). Selama di Jogja, Mbah menempati kontrakan kecil berkamar tidur satu
yang terletak di pinggir jalan raya dan dekat trotoar, sepaket dengan suara
bisingnya kendaraan. Karena letaknya yang strategis, Mbah membuka usaha warung
makan. Lahan trotoar pun disulap sebagai ruang tambahan warung makannya. Hanya
ditutupi atap asbes dan dibuatkan pintu serta jendela kayu, yang kalau hujan
siap-siap saja banjir lokal di warung mbah putri karena air bebas masuk melalui
celah atap asbes yang berbenturan dengan tiang listrik.
Liburan ke jogja
atau menyambut kedatangan Mbah ke Jakarta merupakan momen paling mendebarkan
saat aku kecil. Sudah pasti bisa kuduga, Mbah Putri akan menghujaniku dengan
ciuman bertubi-tubi. Hehehehe walaupun aku sedikit merasa kegelian. Kemudian,
aku langsung membongkar oleh-oleh yang dibawanya, mulai dari bakpia patok,
yangko pelangi, enting-enting, wingko babat bahkan minuman renceng yang diambil
dari warung si Mbah. Dan entah kenapa, justru minuman renceng (yang sebenarnya
cuma rencengan susu Milo) yang membuat aku tergiur.
Kenangan lain adalah
cerita aku dan kutu. Waktu kecil, hewan mungil nan menggemaskan itu pernah
menghuni rambutku. Lalu, kaitannya dengan Mbah putri? Owh, ternyata si Mbah ini
hebat sekali kalau ngedidis kepalaku (belum menemukan padanan kata ngedidis dalam
bahasa Indonesia). Sedikit aku definisikan, ngedidis itu menyisir kulit kepala
dengan menggunakan jari, biasanya pakai jari telunjuk. Faktor usia lah ya, yang
membuat penglihatan Mbah Putri sudah berkurang, apalagi benda kecil seukuran
kutu. Teknik ngedidis ini menggunakan elemen atau kemampuan indra perasa.
Kemampuan ngedidis si Mbah membuatku takjub, karena begitu mudahnya si Mbah
mendapatkan kutu. Dan tahukah setelah itu apa yang akan dilakukan si Mbah
dengan kutu hasil buruannya? Beliau memites (mematikan) kutu dengan gigi
serinya. Prosesi ngedidis ini sering kali membuatku terkantuk-kantuk.
Saat liburan di
Jogja, kegiatan berbelanja di pasar saat pagi hari menjadi kegiatan yang sayang
untuk dilewatkan. Khas sekali, kalau Mbah Putri belanja ke pasar selalu membawa
tas belanja anyaman. Aku senang membawakan tas itu, tentunya jika masih dalam keadaan
kosong. Sebagai imbalan menemani belanja, tak jarang aku diperbolehkan membeli
jajajan pasar. Perjalanan pergi dan pulang dengan menggunakan becak menjadi
wahana wisata tersendiri bagiku.
Duduk di kelas 3
SMA, terbersit niatan untuk kuliah di Jogja, dengan targetan utama tentu saja
UGM. Atau kampus negeri lain di Jogja masih okelah. Alasan utamanya sih, tidak
lain karena ingin menemani Mbah Putri. Begitulah, kesendirian Mbah Putri
melewati masa tua, dengan suami yang lebih sering bersua dengan istri
pertamanya, mendorongku untuk memikirkan keputusan itu. Keputusan yang
belakangan baru kuketahui ternyata tak direstui oleh Papa, kejauhan dari orang
tua katanya. Takdir pun juga belum merestui rencana itu. Mbah Putri mendapat
panggilan dari Allah, dengan panggilan paling lembut, dengan cara paling halus.
Berdasarkan penuturan pembantu Mbah Putri, sore di hari itu Mbah yang merasa
kelelahan bekerja, mencoba rebahan sejenak di kasur. Ketika si pembantu pamit
pulang, dilihat Mbah tertidur pulas. Diguncangkanlah sedikit tubuh Mbah, sambil
memanggil nama Mbah. Tak dinyana, ternyata itu adalah tidur panjang Mbah Putri.
Proses yang singkat, tanpa didatangkan penyakit yang mungkin akan merepotkan sekitar,
pun dalam keadaan yang sangat tenang.
Oke,,I'm in tears
now..feel missing her so bad. Pertemuan kita tak sering Mbah, tapi sosokmu
membekas erat. Well, mudah-mudahan Allah mengampuni segala dosanya,
menyayanginya, dan menempatkan di surga terbaikNya..