Minggu, 05 Januari 2014

Granny,,my memories about you..

Time flies, but our memories will last..

Sungguh, semua kenangan yang kuingat itu adalah hal-hal yang indah, manis, menenangkan dan menyenangkan. Tidak ada yang cacat dari semua kenangan itu. Lagipula gambaran seorang nenek yang tua renta dan kurus kering tidaklah cocok buat nenekku yang satu ini. Asal tau saja, kalo ditotal aku sebenarnya punya nenek 10 orang. 8 dari garis Ayah dan 2 dari garis Ibu. Tapi nenek yang hendak kuceritakan ini, she is the greatest granny that I've ever had..

Mbah Putri, begitu aku memanggilnya (sampai saat aku menulis ini, aku tersadar tidak mengetahui nama sebenarnya. Lain waktu lah ku cek di kartu keluarga). Postur tubuhnya tinggi besar, bahkan lebih tinggi dari ibuku. Rambut ikalnya yang panjang mungkin akan terkembang jika beliau tidak mengepangnya menjadi satu ikatan. Matanya, yang walaupun sayu, akan selalu memberikan perhatian penuh jika berbicara dengannya. Fashion khasnya adalah dress selutut yang panjang lengannya sesiku, dan kemudian dipadu padan dengan ikat pinggang (walaupun belakangan beliau akhirnya lebih sering memakai gamis dan menggunakan kerudung yang diikat ke belakang kepala).

Mbah putri aslinya dari wangon (atau purwokerto? Lupa aku), tapi sejak aku mengenalnya aku hanya tahu domisili beliau di Jogja (dan mungkin juga sudah menjadi data domisili KTPnya). Selama di Jogja, Mbah menempati kontrakan kecil berkamar tidur satu yang terletak di pinggir jalan raya dan dekat trotoar, sepaket dengan suara bisingnya kendaraan. Karena letaknya yang strategis, Mbah membuka usaha warung makan. Lahan trotoar pun disulap sebagai ruang tambahan warung makannya. Hanya ditutupi atap asbes dan dibuatkan pintu serta jendela kayu, yang kalau hujan siap-siap saja banjir lokal di warung mbah putri karena air bebas masuk melalui celah atap asbes yang berbenturan dengan tiang listrik.

Tapi dari kondisi seperti itu, enggan rasanya mengatakan mbahku miskin. Toh, ibuku sering kali dibawakan cincin, gelang dan kalung emas, dari tabungan hasil usahanya. Bahkan, dari cerita ibuku, tak jarang adik-adik Mbah Putri meminta rupiah dari beliau. Resiko Mbah Putri sebagai anak sulung, dengan adik yang cukup banyak dan sebagian mereka berwatak malas.

Liburan ke jogja atau menyambut kedatangan Mbah ke Jakarta merupakan momen paling mendebarkan saat aku kecil. Sudah pasti bisa kuduga, Mbah Putri akan menghujaniku dengan ciuman bertubi-tubi. Hehehehe walaupun aku sedikit merasa kegelian. Kemudian, aku langsung membongkar oleh-oleh yang dibawanya, mulai dari bakpia patok, yangko pelangi, enting-enting, wingko babat bahkan minuman renceng yang diambil dari warung si Mbah. Dan entah kenapa, justru minuman renceng (yang sebenarnya cuma rencengan susu Milo) yang membuat aku tergiur.
 
Mbah Putri bareng adek-adekku ( Hwaaa...akunya gak ada T_T)
Kenangan lain adalah cerita aku dan kutu. Waktu kecil, hewan mungil nan menggemaskan itu pernah menghuni rambutku. Lalu, kaitannya dengan Mbah putri? Owh, ternyata si Mbah ini hebat sekali kalau ngedidis kepalaku (belum menemukan padanan kata ngedidis dalam bahasa Indonesia). Sedikit aku definisikan, ngedidis itu menyisir kulit kepala dengan menggunakan jari, biasanya pakai jari telunjuk. Faktor usia lah ya, yang membuat penglihatan Mbah Putri sudah berkurang, apalagi benda kecil seukuran kutu. Teknik ngedidis ini menggunakan elemen atau kemampuan indra perasa. Kemampuan ngedidis si Mbah membuatku takjub, karena begitu mudahnya si Mbah mendapatkan kutu. Dan tahukah setelah itu apa yang akan dilakukan si Mbah dengan kutu hasil buruannya? Beliau memites (mematikan) kutu dengan gigi serinya. Prosesi ngedidis ini sering kali membuatku terkantuk-kantuk.

Saat liburan di Jogja, kegiatan berbelanja di pasar saat pagi hari menjadi kegiatan yang sayang untuk dilewatkan. Khas sekali, kalau Mbah Putri belanja ke pasar selalu membawa tas belanja anyaman. Aku senang membawakan tas itu, tentunya jika masih dalam keadaan kosong. Sebagai imbalan menemani belanja, tak jarang aku diperbolehkan membeli jajajan pasar. Perjalanan pergi dan pulang dengan menggunakan becak menjadi wahana wisata tersendiri bagiku.

Duduk di kelas 3 SMA, terbersit niatan untuk kuliah di Jogja, dengan targetan utama tentu saja UGM. Atau kampus negeri lain di Jogja masih okelah. Alasan utamanya sih, tidak lain karena ingin menemani Mbah Putri. Begitulah, kesendirian Mbah Putri melewati masa tua, dengan suami yang lebih sering bersua dengan istri pertamanya, mendorongku untuk memikirkan keputusan itu. Keputusan yang belakangan baru kuketahui ternyata tak direstui oleh Papa, kejauhan dari orang tua katanya. Takdir pun juga belum merestui rencana itu. Mbah Putri mendapat panggilan dari Allah, dengan panggilan paling lembut, dengan cara paling halus. Berdasarkan penuturan pembantu Mbah Putri, sore di hari itu Mbah yang merasa kelelahan bekerja, mencoba rebahan sejenak di kasur. Ketika si pembantu pamit pulang, dilihat Mbah tertidur pulas. Diguncangkanlah sedikit tubuh Mbah, sambil memanggil nama Mbah. Tak dinyana, ternyata itu adalah tidur panjang Mbah Putri. Proses yang singkat, tanpa didatangkan penyakit yang mungkin akan merepotkan sekitar, pun dalam keadaan yang sangat tenang.


Oke,,I'm in tears now..feel missing her so bad. Pertemuan kita tak sering Mbah, tapi sosokmu membekas erat. Well, mudah-mudahan Allah mengampuni segala dosanya, menyayanginya, dan menempatkan di surga terbaikNya..